Menerka Arah Kebijakan Perpajakan Internasional Pasca Diberlakukannya Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP)

perpajakan internasional indonesia
mohamed_hassan / Pixabay

Pengantar

Menurut para ahli hukum, perpajakan internasional mengatur hal-hal mengenai pemajakan atas transaksi lintas negara (cross-border transaction) dimana diatur hak pemajakan atas Subjek Pajak Dalam Negeri (SPDN) apabila mendapatkan penghasilan dari sumber luar negeri juga, demikian halnya apabila terdapat Subjek Pajak Luar Negeri (SPLN) yang menerima/memperoleh penghasilan dari sumber dalam negeri.  

Dalam konteks regulasi perpajakan, kita semua tahu bahwa Pasal 32A UU Pajak Penghasilan (UU PPh) yang berlaku memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk melakukan perjanjian dengan pemerintah atau competent tax authorities negara lain dalam rangka perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B = double tax treaty). P3B, dalam hal ini secara teoretis memang memiliki dua tujuan utama seperti tercantum dalam buku P3B yang sering kita lihat. Kalau secara umum orang bilang don’t judge the book by its cover, tapi kalau P3B jelas-jelas judge the book by its cover, karena dari judulnya saja kita bisa mengetahui bahwa terdapat dua tujuan utama yang akan diperoleh dari P3B, yaitu: (1) menghindari pengenaan pajak berganda (avoidance of international double taxation); dan (2) mencegah penyelundupan pajak (to prevent tax/fiscal evation), meski belakangan kita juga memahami bahwa banyak yurisdiksi pajak juga memakai P3B untuk meng-combat international double non-taxation.

Persoalan Utama Pajak Internasional

Oleh karenanya, sekarang kita paham bahwa persoalan utama dalam pajak internasional itu mencakup: (1) bagaimana kondisi/situasi pajak berganda (double taxation) dan sebaliknya non-double taxation dapat diantisipasi? Apalagi saat sekarang ini dimana dinamika business operation sudah sedemikian pesatnya memasuki era digitalisasi dengan dukungan teknologi informasi dan komunikasi canggih, tentu tugas berat dan concern atas pencegahan pajak berganda dan antisipasi non-double taxation menjadi semakin kritikal untuk dibuatkan pengaturannya; (2) pajak internasional dihadapkan pada fenomena perilaku penghindaran pajak (tax avoidance behaviour), khususnya yang terjadi pada Multinational Company (MNC) group yang beroperasi lintas negara yang memanfaatkan celah hukum yang ada yang bisa jadi karena lack of coordination aturan perpajakan antarnegara. Oleh karena itu, dua permasalahan ini dalam banyak literatur perpajakan internasional kontemporer masih dianggap sebagai problematika utama international taxation studies.    

Upaya-upaya yang dilakukan banyak yurisdiksi pajak untuk mengatasi permasalahan perpajakan internasional tadi, secara garis besar dikelompokkan ke dalam 3, yaitu: (1) unilateral, artinya peningkatan kualitas peraturan perpajakan domestik agar double taxation dan non-double taxation issues tadi dapat dieliminasi, seperti dengan ketentuan kredit pajak luar negeri (KPLN) atau Specific Anti Avoidance Rule (SAAR) provision; (2) bilateral, melalui upaya renegosiasi P3B yang dianggap telah out of date dan menyinkronkannya dengan international best practice seiring dengan perkembangan keilmuan perpajakan internasional, seperti penerapan Multilateral Instrument (MLI) provision. Juga dapat dilakukan secara (3) multilateral, misalnya melalui akomodasi ketentuan BEPS Action Plan di dalam legislasi UU perpajakan domestik juga P3B.

Kebijakan Pajak Internasional Indonesia: Pemetaan atas Upaya Unilateral

Beberapa perubahan ketentuan UU Pajak domestik yang berhubungan dengan aspek pajak internasional telah dilakukan dalam UU Cipta Kerja dan UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Secara unilateral, aspek-aspek pajak internasional yang berubah dengan pemberlakuan UU tersebut antara lain:

  1. Perlakuan PPh WPOP yang memiliki domisili di lebih dari satu negara, ini menimbulkan terminologi baru seperti WNI/WNA SPDN/SPLN yang penentuan status residensialnya tetap mengacu pada konsep tie breaker rules, yang menekankan pada pemakaian prinsip/asas domisili dalam penentuannya, seperti: permanent home, center of vital interest, habitual abode, dan citizenship tests.  
  2. Perlakuan PPh atas inbound dividend, yang sekarang repatriasinya dapat tidak dikenakan pajak sepanjang ditanamkan/investasi di Indonesia di sektor-sektor yang ditentukan oleh pemerintah.
  3. Perlakuan atas penghasilan ekspatriat di Indonesia yang berdasarkan territorial basis (dari sumber Indonesia saja) dengan beberapa persyaratan tertentu, seperti memiliki keahlian tertentu dalam jangka waktu 4 tahun.
  4. Modifikasi sistem KPLN, dengan dibebaskannya sebagian dividen dari sumber luar negeri sebagai penghasilan WP domestik. Apakah ordinary tax credit dengan country by country limitation masih menjadi pilihan?    
  5. Assistance in tax collection, klausul bantuan penagihan pajak secara internasional ini, semula hanya tercantum dalam beberapa P3B Indonesia dengan negara mitra perjanjian, seperti dengan USA, sekarang ketentuan ini ada di dalam UU HPP sehingga diharapkan penerimaan pajak kita dari WP-WP yang buron ke luar negeri, dapat ditingkatkan kolektabilitasnya.
  6. General Anti Avoidance Rule (GAAR) provision, yang sayangnya kemarin dalam pembahasan UU HPP masih belum disepakati oleh parlemen (DPR).

Kebijakan Pajak Internasional Indonesia: Contoh Upaya Bilateral

Permasalahan perpajakan internasional juga dapat diatasi melalui P3B. Dalam hal ini, kita melihat beberapa renegosiasi P3B telah dilakukan oleh Indonesia di kurun waktu 2021 hingga sekarang, yaitu P3B dengan Singapura dan Persatuan Emirat Arab.

Upaya bilateral melalui renegosiasi P3B Indonesia – Singapura menghasilkan beberapa perubahan sebagai berikut:

  1. P3B pertama Indonesia yang mengadopsi benefits concept dan principal purpose test yang ada dalam Multilateral Instrument (MLI) sebagai standar minimum ketentuan GAAR, tertuang dalam preamble;
  2. Penurunan tarif WHT atas royalti menjadi 8%-10% (dari semula 15%) juga pengalihan intellectual property tidak masuk dalam pengertian royalty;
  3. Penurunan tarif branch profit tax (BPT) menjadi 10% yang diatur dalam batang tubuh P3B (semula 15% diatur dalam protocol). Juga penghentian ketentuan most-favored nation BPT rate on production sharing contract (PSC);
  4. Penghentian pengecualian WHT untuk bunga dari government bonds. Sebaliknya, daftar institusi pemerintah yang berhak mendapatkan WHT 0% diperluas mencakup quasi-government financial institution. Juga penegasan bahwa denda karena keterlambatan pembayaran tidak dianggap sebagai bunga;
  5. Pengaturan mengenai capital gains yang sebelumnya masuk kategori income not expressly mentioned;
  6. Exchange of Information (EoI) mencakup semua jenis pajak dan mengacu pada OECD Model Tax Convention Tahun 2017.

Sementara, upaya bilateral melalui renegosiasi P3B Indonesia – Persatuan Emirat Arab (PEA) menghasilkan poin-poin perubahan sebagai berikut:

  1. Pengenaan tarif WHT atas dividen sebesar 10%. Penghapusan ketentuan most-favored nation dividend rate on production sharing contract (PSC).
  2. Peningkatan tarif WHT atas bunga sebesar 7%.
  3. Pengenaan tarif WHT atas royalti dan imbalan jasa teknik sebesar 5%.

Dapat dilihat bahwa beberapa prinsip perpajakan internasional kontemporer telah diakomodasi di dalam P3B baru tersebut, antara lain pengadopsian benefits concepts dan principal purposes test yang terdapat dalam MLI sebagai standar minimum ketentuan tentang GAAR. Juga pemakaian referensi OECD Model Tax Convention Tahun 2017 sebagai acuan untuk exchange of information yang mencakup seluruh jenis pajak, bukan PPh saja. Di samping penurunan atau kenaikan tarif WHT atas passive income dan pemajakan atas capital gain yang lebih disesuaikan dengan tren perpajakan internasional sekarang sekaligus untuk memperlancar laju cross-border investment.

Kebijakan Pajak Internasional Indonesia: Implementasi Upaya Multilateral

Berikut adalah beberapa contoh adopsi BEPS Action yang merupakan global consensus dan international best practices dalam peraturan perpajakan di Indonesia:

  1. BEPS Action 1 (Digital Economy) – Saat ini ketentuan yang telah diimplementasikan masih terbatas pada PPN atas PMSE (PMK48/2020) karena belum disepakatinya konsensus global.    
  2. BEPS Action 3 (Controlled Foreign Company) – Perubahan ketentuan Controlled Foreign Company sebagaimana diatur dalam PMK-18/PMK.03/2021, meski PMK-107/PMK.03/2017 dan PMK-93/PMK.03/2019 tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan PMK-18/PMK.03/2021.
  3. BEPS Action 4 (Thin Capitalization Rule) – Amandemen Pasal 18 UU PPh melalui UU HPP, yakni memberikan kewenangan kepada Menteri Keuangan mengatur batasan jumlah biaya pinjaman yang dapat dibebankan, tidak ada lagi klausul perbandingan utang terhadap modal.
  4. BEPS Action 6 (Preventing the Granting of Tax Treaty Benefits in Inappropriate Circumstances) – Dimasukkannya klausul principle purpose test dalam P3B Indonesia dengan negara mitra melalui mekanisme MLI.
  5. BEPS Action 7 (Preventing the Artificial Avoidance of PE Status) – Modifikasi ketentuan pengecualian Permanent Establishment (PE) exemption dan dependent agent PE dalam tax treaty Indonesia dengan negara mitra melalui mekanisme MLI.

Penutup

Kita berharap ke depan permasalahan-permasalahan perpajakan internasional tadi dapat dicarikan jalan keluarnya secara komprehensif dan adil sebagaimana juga telah menjadi common issues banyak yurisdiksi pajak di dunia. Barangkali waktu-waktu ke depan kita akan melihat lebih banyak lagi 15 BEPS Action Plan akan diimplementasikan dalam peraturan pajak domestik kita. Khusus untuk hubungan P3B, dapat dilakukan penguatan atas pembagian hak pemajakan antara negara sumber dan negara domisili yang lebih fair ke depannya.    

Categories: Artikel Pajak

Artikel Terkait